1. Sistem Komunikasi Radio
Sistem komunikasi sudah merambah berbagai aspek kehidupan manusia seperti memanfaatkan gelombang elektromagnetik alias radio sebagai pembawa informasi, memanfaatkan gelombang akustik, memanfaatkan gelombang cahaya alias mata manusia untuk melihat isyarat asap dll, tergantung kepada manusia penggunanya, beberapa di antara teknologi yang berbasis radio bisa berdampak negatif, seperti orang menelepon sambil menyetir mobil, menyusuri internet sampai lupa waktu, dan menonton program TV yang kurang mendidik. Namun dampak positif sistem komunikasi radio, jika mau dirinci satu per satu, jauh lebih banyak dan lebih besar. Cerita bermula ketika manusia mencoba memahami perilaku gelombang elektromagnetik di berbagai medium,yang tergambar dari persamaan-persamaan Maxwell2. Radiasi gelombang elektromagnetik yang dipadu dengan proses modulasi memungkinkan manusia menumpangkan sinyal informasi suara, gambar, video, dan data – yang telah dikonversi menjadi sinyal listrik – pada gelombang elektromagnetik yang merambat melalui berbagai medium. Jadilah sistem komunikasi radio.
Sistem komunikasi radio menjadi salah satu indicator kemajuan peradaban manusia. Seratus tahun yang lalu hanya gelombang elektromagnetik dari sumber alami saja yang terlepas dari muka bumi ke angkasa raya. Namun sejak didirikannya stasiun pemancar TV yang pertama, sinyal radio berkekuatan tinggi buatan manusia merambah masuk ke alam semesta. Kemunculan stasiun pemancar radio, jaringan seluler, dan lain-lain ikut menambah tingkat pancaran radio dari bumi ke angkasa luar. Sepuluh tahun dari sekarang, seekor mahluk ekstra-terestrial di tata surya lain yang berjarak 10 tahun-cahaya dari bumi akan dapat menerima sinyal siaran TV yang disiarkan hari ini dan menarik kesimpulan seperti apa masyarakat manusia saat ini (Sagan,1991). Sistem komunikasi radio terus berkembang dengan
munculnya kemampuan manusia melakukan digitalisasi sinyal dan sistem. Tahapan ini memungkinkan orang menyampaikan pesan multimedia kepada para rekannya dengan kapasitas, kualitas, dan keandalan tinggi sambil bergerak. Famili teknologi yang berlabel sistem komunikasi nirkabel pita lebar (broadband wireless communications) inilah yang menjadi
titik api orasi ini.
2. Model Sistem Komunikasi Digital
Seperti diajarkan dalam berbagai buku teks – missal Proakis (2001) – suatu sistem komunikasi digital tersusun atas tiga komponen utama, yaitu perangkat pemancar, kanal komunikasi, dan perangkat penerima, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Misalkan terdapat deretan informasi digital {Ik} yang bisa berasal dari data digital atau sinyal suara atau video yang telah dijadikan digital. Pemancar berfungsi mengubah deretan informasi digital {Ik} menjadi bentuk sinyal x(t) yang dapat dikirimkan melalui kanal, sedangkan penerima mengupayakan diperolehnya estimasi informasi asli {Ik’}
berdasarkan sinyal y(t) yang diterimanya dari kanal. Selama perambatan melalui kanal, sinyal yang membawa informasi mengalami gangguan berupa noise, fading, dan pelebaran
pulsa. Jika sinyal yang dihasilkan pemancar adalah x(t) sebagai fungsi waktu t, kanal memiliki karakteristik respon impuls h(t) dan memberikan noise sebesar n(t), maka sinyal yang sampai pada penerima adalah:
y(t) = h(t) * x(t ) + n(t) (1)
3. Desain Sistem Komunikasi Berdasarkan Karakteristik
Kanal pada Ranah Waktu, Frekuensi, dan Ruang
Variasi kanal terjadi pada tiga matra, yaitu waktu, frekuensi, dan ruang. Variasi terhadap waktu terjadi karena pemancar dan/atau penerima yang bergerak atau karena kondisi lingkungan yang berubah terhadap waktu. Variasi pada ranah frekuensi terjadi terutama karena efek penjumlahan vektor dari lintasan-lintasan propagasi. Jika lintasan-lintasan ini mengakibatkan pergeseran fase yang sama maka hasil jumlahannya akan saling menguatkan. Sebaliknya, fase yang berlawanan mengakibatkan penjumlahan yang saling memperlemah. Variasi dalam dimensi ruang terjadi karena efek penjumlahan lintasan jamak bergantung kepada geseran
fase setiap lintasan, serta kondisi lingkungan yang berbedabeda pada setiap posisi antena pemancar atau penerima. Sebenarnya suatu kanal dianggap bervariasi cepat atau lambat tidak bisa hanya dilihat berdasarkan laju variasi absolut dari respon kanal tersebut, tapi harus dipandang dari laju variasi relatif terhadap laju informasi yang dikirim melaluinya (Proakis, 2001). Dengan demikian, manusia bias memilih akan menggunakan sistem pita sempit atau lebar dengan mengatur lebar pita atau laju transmisi sinyal yang dikirimkan. Secara umum, jika informasi mengenai karakteristik kanal diketahui, suatu sistem komunikasi digital dapat dirancang untuk bekerja optimum menurut berbagai kriteria, antara lain:
- Kualitas sinyal dan/atau efisiensi daya,
- Keandalan atau ketersediaan,
- Kapasitas atau efisiensi spektrum,
- Kompleksitas.
Sebagai contoh, respon kanal yang tidak seragam terhadap sinyal yang berfrekuensi beda menyebabkan timbulnya efek interferensi antara pulsa atau simbol yang dikirimkan berderetan. Hal ini bisa terjadi pada system komunikasi radio jika gelombang radio merambat dari pemancar ke penerima melalui lintasan yang berbeda – misal, lintasan langsung dan lintasan pantul pada kondisi LOS (lineof- sight, kondisi di mana lintasan propagasi radio antara antena pemancar dan penerima tidak terhalang yang menyebabkan diterimanya lebih dari satu duplikat pulsa yang sama pada penerima dalam waktu yang berbeda. Akibatnya terjadi tumpang tindih antar simbol yang berurutan. Obatnya adalah teknik ekualisasi yang berfungsi
mengkompensasi efek pertindihan antar simbol atau menyeragamkan respon frekuensi kanal (Proakis, 2001). Demikian kita kenal pula obat-obat lain untuk berbagai permasalahan di bidang sistem komunikasi digital. Pengkodean digunakan untuk memberi tameng bagi pulsapulsa terhadap serangan sinyal asing (derau dan interferensi) selama perjalanannya menuju ke penerima. Jika kondisi kanal berubah-ubah, teknik adaptasi dapat diterapkan pada daya, jenis modulasi, dan pengkodean. Apabila diinginkan komunikasi berbarengan sehingga sinyalnya saling bertindihan pada frekuensi yang sama, digunakan prinsip pelebaran spektrum (spread spectrum) dipadu dengan deteksi pengguna jamak (multi-user detection). Jika diinginkan komunikasi pita lebar hemat spektrum dengan ekualisasi sederhana bias digunakan teknik OFDM (orthogonal frequency division multplexing). Bagi yang kurang puas dengan kualitas dan
kapasitas, sistem multi antena MIMO (multi-input multioutput) dapat diterapkan, baik untuk peningkatan kapasitas
dengan multipleks dalam matra ruang maupun peningkatan kualitas dengan pengkodean pada dimensi ruang-waktu. Contoh sistem komunikasi paling sederhana adalah komunikasi melalui saluran transmisi seperti kabel telepon, kabel koaksial, atau waveguide, yang masing-masing
merupakan medium transmisi yang ”terkendali” dan tidak berubah terhadap waktu. Sekali respon medium terhadap sinyal dengan frekuensi tertentu diketahui, maka langsung dapat ditetapkan metode transmisi terbaik (dalam criteria apa pun) yang dapat dipergunakan selama komunikasi berlangsung. Hal ini yang terjadi pada sistem DSL (digital subscriber line) dan TV kabel. Sebaliknya kanal radio dengan lintasan jamak, di mana baik posisi pemancar, penerima, maupun obyek pemantul dan penghambur di sekitarnya dapat berubah, menuntut adanya adaptasi sistem komunikasi untuk mengejar perubahan kanal. Adaptasi dapat terjadi pada daya pancar, tingkat modulasi, laju pengkodean, atau pada proses ekualisasi digital pada penerima. Teknik adaptasi diterapkan pada sistem telepon seluler atau siaran televisi digital, khususnya ketika si pelanggan seluler atau si penonton TV digital sedang bergerak.
Hal yang serupa dapat terjadi pada sistem komunikasi pada frekuensi sangat tinggi, di atas 10 GHz, terutama jika terjadi hujan pada saat komunikasi berlangsung. Pada pita frekuensi ini tersedia spektrum yang sangat lebar dan berpotensi untuk dimanfaatkan bagi akses nirkabel
berkapasitas tinggi. Tetapi, mengapa manusia menciptakan kata ”tetapi”? Karena tetapi bisa terjadi setiap saat (Darma, 2007). Dalam hal ini, pada segmen frekuensi di atas 10 GHz
panjang gelombang bernilai kurang dari 3 cm, sehingga titiktitik hujan yang berdiameter maksimum sekitar 6 mm mulai menyebabkan efek penghamburan. Akibatnya daya yang
diteruskan dan sampai pada penerima menjadi berkurang dan terjadilah fenomena redaman hujan (Brussaard dan Watson, 1995).
4. Relevansi
Sejak generasi kedua, sistem komunikasi telepon bergerak telah memasuki era digital. Kualitas penerimaan yang lebih baik dan kapasitas yang lebih tinggi adalah kelebihan utama dibanding generasi pertama yang masih berbasis modulasi analog. Pada generasi kedua, muncul dua kubu besar teknologi yang bersaing di arena global. Teknologi TDMA (time division multiple access) yang diusung oleh negara-negara Eropa melalui standar GSM, dengan Ericsson
sebagai penggerak utama, bersaing dengan CDMA (code division multiple access) yang dicetuskan oleh Qualcomm dari Amerika Serikat yang kemudian dikenal melalui standar IS-95
dan beberapa variannya. Kapasitas yang semakin besar dicapai oleh sistem komunikasi bergerak generasi ketiga. Pada generasi ketiga ini, komunikasi data dan video sudah dapat
dilaksanakan, minimal bagi yang sudah puas melihat gambar bergerak berukuran layar ponsel atau PDA. Sedangkan manusia tidak pernah merasa puas. Akses LAN nirkabel memiliki riwayatnya sendiri. Kelahiran keluarga standar IEEE 802.11 memberi jalan bagi akses nirkabel kecepatan tinggi ke jaringan LAN. Pihak industri merespon hasil kerja keras komite standarisasi IEEE ini dengan menetapkan WiFi yang berbasis pada IEEE 802.11 untuk memungkinkan realisasi sistem ini oleh industry telekomunikasi. Dengan membidik target aplikasi berupa
terminal komputer atau laptop, sistem ini mampu mencapai kecepatan sekian puluh Mbps. Cerita serupa terjadi pada IEEE 802.16 yang setelah mengalami amandemen beberapa kali mampu melahirkan teknologi akses nirkabel kecepatan tinggi, baik untuk aplikasi point-to-point ataupun point-tomultipoint, dengan fleksibilitas segmentasi kanal frekuensi pada pita 2-11 GHz3. Dalam hal ini industri merespon dengan formulasi WiMAX untuk memungkinkan implementasinya oleh industri perangkat telekomunikasi. Saat ini terjadi perkembangan menuju peningkatan mobilitas dan penerapan komunikasi kooperatif Teknologi lainnya yang sedang berkembang di dunia saat ini, dan baru mulai disemai di Indonesia, adalah system siaran TV digital (Budiarto dkk, 2007). Kalau pada sistem TV analog yang sekarang ini kita nikmati sebuah kanal RF hanya ditempati oleh satu sinyal program siaran TV, maka pada sistem digital setiap kanal RF dapat digunakan bersama secara multipleks oleh beberapa program siaran. Di samping itu, teknik modulasi digital disertai pengolahan sinyal yang canggih memungkinkan sistem TV digital lebih tahan terhadap gangguan derau, distorsi oleh kanal (Gambar 4), maupun efek interferensi. Akibatnya kualitas gambar yang dihasilkan juga lebih baik dibandingkan sistem analog (Wu, 2000). Di samping itu, teknologi digital memungkinkan jaringan pemancar TV yang bekerja pada frekuensi yang sama (single frequency network, SFN) untuk meningkatkan cakupan dan kualitas sinyal (Ladebusch dan Liss, 2006). Gambar 5 membandingkan prosentase cakupan SFN dan jaringan
pemancar multi frekuensi (multiple frequency network, MFN) pada sistem TV digital DVB-T dengan tiga pemancar yang membentuk segitiga bersisi 24 km menurut estimasi berdasarkan hasil pengukuran di Jakarta oleh tim BPPT, ITS, dan Alphatron (Budiarto, 2007). Daerah berwarna putih di sekitar pusat segitiga wilayah cakupan MFN adalah daerah yang memiliki tingkat cakupan kurang dari 70%, nilai acuan minimum untuk cakupan DVB-T yang dianjurkan oleh Ladebusch dan Liss (2006).
5. Peluang Masa Depan
Masih banyak hal yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan sistem komunikasi nirkabel pita lebar. Impian yang hendak diwujudkan adalah kondisi di mana setiap orang dengan perangkat komunikasinya sendiri, entah berupa ponsel, PDA, laptop, atau desktop, dapat memperoleh layanan multimedia yang diinginkannya tanpa perlu repot mengurusi ketersediaan jaringan radio di tempat ia berada. Dengan demikian beberapa masalah masih perlu dicari
solusinya:
• Bagaimana memperbesar kapasitas kanal yang ada.
• Bagaimana menyediakan lebih banyak alternatif
frekuensi gelombang pembawa bagi sistem ini.
• Bagaimana sistem yang berbeda-beda dapat saling bekerja bersama sehingga terbentuk anjungan layanan yang tak terputus di antara pasangan pelanggan mana pun.
• Bagaimana dapat dibuat perangkat keras dan lunak yang memungkinkan alat komunikasi bekerja berdasarkan sistem mana pun yang tersedia di suatu tempat. Dengan sekian banyak permasalahan, jelas terbuka lebar peluang bagi periset teknologi nirkabel di Indonesia. Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan yang terbuka. Teknologi multi-antena MIMO merupakan salah satu proposal solusi dalam meningkatkan kinerja sistem nirkabel. Dalam hal ini penerapannya ditujukan untuk meningkatkan kualitas atau kapasitas secara kompromi. Tingkat diversitas mengindikasikan peningkatan kualitas sinyal, sedangkan tingkat multipleks menentukan kapasitas sistem. Pemanfaatan diversitas pada ranah ruang dicapai dengan menerapkan pengkodean ruang-waktu (space-time coding atau STC) yang dirintis oleh Alamouti (1998) dan Tarokh dkk (1998 dan 1999). Sementara upaya peningkatan kapasitas dengan multipleks spasial berawal dari sistem BLAST (Bell Labs Space-Time Processing) (Foschini dkk, 1999). Kedua teknik ini mencapai hasil maksimal pada kondisi lingkungan yang memiliki banyak penghambur gelombang sehingga menyebabkan korelasi yang rendah antara sinyal-sinyal yang diterima oleh elemen antenna yang berbeda pada penerima. Kondisi ini biasanya terpenuhi pada sistem komunikasi di dalam ruang (Hendrantoro dkk, 2007a). Sedangkan untuk operasi di luar gedung dapat diterapkan sistem MIMO terdistribusi, di mana sebuah terminal pelanggan multi-antena berkomunikasi secara simultan dengan lebih dari satu stasiun, masing-masing juga memiliki antena jamak (Puspitorini dkk, 2006, Gunantara dkk,
2006, Kuswidiastuti dkk, 2008). Di kawasan ini masih terbuka peluang cukup lebar untuk partisipasi para periset Indonesia. Sisi lain dari sistem multi-antena MIMO adalah
pemanfaatannya dalam teknologi radar dikombinasi dengan pengkodean bentuk gelombang untuk meningkatkan akurasi radar dalam mendeteksi obyek (Li dkk, 2006).
Dalam rangka memperbanyak opsi frekuensi gelombang radio pembawa, perlu dijajagi peluang
pemanfaatan gelombang milimeter, khususnya pada segmen frekuensi 20-40 GHz. Akses nirkabel terestrial pada segmen frekuensi tersebut sudah cukup matang dikembangkan di benua Eropa (Nordbotten, 2000, Panagopoulos dkk, 2007) dan Amerika Utara (Hendrantoro dkk, 2002, Falconer dan Decruyenaere, 2003). Pada kedua wilayah ini, curah hujan tidaklah sebesar di daerah tropis seperti Indonesia. Penerapan teknik diversitas, di mana suatu terminal pelanggan dilayani oleh stasiun yang memberikan sinyal terbaik, sudah cukup mampu menghasilkan kualitas layanan yang baik (Hendrantoro dkk, 2002). Persamaan (3) menggambarkan betapa besarkecilnya redaman dipengaruhi oleh curah hujan sepanjang
lintasan radio. Sebagai contoh, di Surabaya pernah tercatat curah hujan sesaat sampai setinggi 300 mm/jam (Muriani dkk, 2007) dan redaman sebesar 80 dB pada lintasan radio 30 GHz sepanjang 5,7 km (Salehudin dkk, 1999). Logikanya, jika dapat dirancang suatu sistem nirkabel gelombang millimeter yang tahan terhadap kondisi tersebut di atas, maka sistem ini akan dapat dimanfaatkan di wilayah tropis sepanjang sabuk khatulistiwa yang kebanyakan dihuni oleh negara-negara berkembang. Untuk menuju ke sana diperlukan pemodelan redaman hujan yang akurat sebagai alat uji sistem yang direncanakan (Hendrantoro dkk, 2006), termasuk pula metode estimasi hamburan daya yang memperhitungkan keacakan dimensi dan posisi titik hujan yang realistis (Setijadi dkk, 2008). Desain sistem perlu melibatkan teknologi adaptasi
pada lapisan fisik (Indrabayu dkk, 2005, Suwadi dkk, 2008) atau optimasi lintas-jaringan (Endroyono dkk, 2008a dan 2008b). Kemudian dalam rangka menyediakan akses layanan komunikasi multimedia di daerah yang tidak memiliki infrastruktur (daerah baru atau daerah yang tertimpa bencana) dapat diimplementasikan jaringan komunikasi nirkabel ad-hoc. Terminal-terminal pengguna dapat bekerja sama membentuk suatu jaringan relay sedemikian hingga dapat terjadi komunikasi antar terminal yang berjauhan atau sampai mencapai stasiun yang terhubung ke infrastruktur jaringan (Scaglione dkk, 2006, ). Beberapa isu seperti sistem
modulasi, penentuan rute relay, dan sebagainya dipecahkan dengan memasang target kinerja seperti pemampatan waktu tunda dan penghematan daya. Sistem komunikasi kooperatif
ini, misalnya, dapat diterapkan pada WiMAX untuk menjangkau daerah-daerah yang belum memiliki infrastruktur jaringan kabel dan menyediakan akses nirkabel pita lebar di daerah-daerah tersebut. Akhirnya, keberadaan berbagai sistem komunikasi radio, seperti jaringan telepon seluler, akses LAN nirkabel, dan sistem nirkabel pita lebar, memerlukan adanya unifikasi sedemikian hingga setiap orang bisa berkomunikasi di mana pun dia berada dengan perangkat apa pun yang dibawanya. Konsep system nirkabel generasi keempat atau 4G adalah seperti itu. Berbagai permasalahan masih menunggu solusi tuntas dalam rangka pembentukan sistem 4G ini, misalkan metode pensinyalan untuk pengiriman informasi multimedia lintas sistem (Fu dkk, 2006). Masih banyak peluang-peluang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai celah kontribusi bagi para periset kita. Contohnya, pengembangan perangkat radio dengan blok fungsional yang dapat didefinisikan dengan perangkat lunak (software-defined radio) (Mitola dan Zvonar, 2000), pengembangan jaringan sensor nirkabel (wireless sensor network), pemanfaatan gelombang HF untuk jaringan ad-hoc, beserta berbagai aplikasinya masing-masing. Yang diperlukan untuk mewujudkan kontribusi yang signifikan adalah program yang terpadu dan terencana baik, dengan melibatkan elemenelemen perguruan tinggi, institusi penelitian, industri, dan pemerintah, dibarengi dengan kerja keras dan sikap saling menghargai dan mendukung di antara para peneliti dan industri.
6. Memanfaatkan Peluang Lewat Pendidikan Berbasis
Lab
Karena gelar yang dipercayakan kepada saya adalah guru besar, dan bukan peneliti besar, maka ijinkan saya sedikit masuk ke dalam bidang pendidikan. Dalam rangka pencapaian hasil riset yang maksimal, permasalahan yang umum terjadi di pendidikan tinggi adalah kurang serasinya kegiatan-kegiatan Tri Dharma. Pengajaran menyita waktu dan tenaga sangat banyak sehingga dosen tidak sempat meneliti. Penelitian dilakukan sendiri oleh dosen tanpa melibatkan
mahasiswa sehingga kurang bermanfaat bagi proses belajar mengajar. Belum lagi tuntutan bagi lembaga pendidikan tinggi untuk lebih berbicara di kancah nasional dan internasional, padahal riset yang dilakukan lebih bersifat sporadis tanpa program yang berkelanjutan. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mau berkiprah di arena internasional di bidang teknologi nirkabel? Intisari dari pendidikan berbasis laboratorium (PBL) yang diusulkan sebagai solusi permasalahan di atas adalah bahwa mahasiswa belajar melalui riset di lab. Mahasiswa S2 dan S3 langsung terlibat dalam aktivitas riset pembimbingnya sejak semester pertama. Sedangkan mahasiswa S1 yang semester ini mengerjakan tugas akhir boleh memulai aktivitasnya di lab pada semester sebelumnya. PBL memberikan riset yang lebih berarti dan terencana bagi mahasiswa, menyediakan tenaga pelaksana penelitian yang cukup bagi dosen, dan memungkinkan tercapainya hasil riset yang komprehensif, sambil memberikan pengalaman langsung bagi mahasiswa untuk menerapkan ilmunya melalui penelitian (Hendrantoro, 2007b). Penerapan PBL dimulai dengan pendefinisian pohon penelitian dan program kerja jangka panjang dan tahunan pada setiap lab atau kelompok riset. Yang dimaksud kelompok riset di sini bisa berupa gabungan beberapa lab, atau grup yang dibentuk sesama kolega dosen yang memiliki bidang
minat yang sama. Kepala lab atau kelompok riset dalam hal ini memegang tanggung jawab utama mengarahkan program riset (Tim LBE PREDICT-ITS, 2007). Pada dasarnya, aktivitas riset ini merupakan suatu proyek besar yang membutuhkan kerjasama dan tanggung jawab bersama oleh semua anggota tim – dosen dan mahasiswa. Sang kepala lab tidak perlu sendirian memeras otak dan membanting tulang untuk membimbing sekian banyak mahasiswa karena pembimbingan dapat dibuat berhirarki. Kepala lab cukup menangani mahasiswa S-3
dan/atau S-2 dengan bantuan staf dosen lainnya. Sementara mahasiswa S-3 dan S-2 bertugas membimbing sekaligus dibantu oleh mahasiswa S-1 dalam melaksanakan risetnya. Dari sini kelompok riset yang besar terbagi-bagi ke dalam kelompok kecil, masing-masing bertugas mengeroyok satu aspek kecil dari pohon penelitian yang telah terdefinisi. “Struktur organisasi” yang berjenjang seperti ini, disertai acara seminar mingguan sebagai sarana pemantauan
kemajuan – sangat mirip dengan yang dilakukan oleh para profesor pada berbagai universitas di Jepang – dipastikan dapat memberikan hasil riset yang komprehensif dan beragam bentuk luaran: kontribusi ilmiah yang signifikan, temuan yang siap dipatenkan atau diaplikasikan di industri, serta peningkatan kompetensi lulusan, yang menandakan ketercapaian Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dengan PBL, dari satu pohon penelitian dijamin dapat dipetik banyak buahbuahan segar berupa makalah-makalah konferensi dan jurnal mulai tingkat lokal, nasional sampai internasional, paten, tugas akhir, tesis, disertasi, dan karya-karya ilmiah mahasiswa. Kedekatan antara dosen dan mahasiswa juga merupakan faktor yang tak boleh.
7. Penutup
Intinya adalah bahwa dengan perkembangan teknologi nirkabel yang begitu kilat, masih terbuka lebar kesempatan bagi peneliti Indonesia untuk turut memberikan kontribusi di dalamnya dan turut serta membangun Indonesia menjadi yang lebih maju dan lebih baik lagi.
Daftar Pustaka
Google .com
Sabtu, 18 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar