Senin, 23 November 2009

Bobroknya Hukum di Indonesia

Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat
pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial . Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik
antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan
dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak .

Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa
penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang
seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali
bersifat diskriminatif , memihak kepada yang kuat dan berkuasa.

Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998, masyarakat yang tertindas oleh hukum bergerak mencari
keadilan yang seharusnya mereka peroleh sejak dahulu. Namun kadang usaha mereka dilakukan tidak melalui jalur
hukum. Misalnya penyerobotan tanah di Tapos dan di daerah-daerah persengketaan tanah yang lain, konflik perburuhan
yang mengakibatkan perusakan di sejumlah pabrik, dan sebagainya.

Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk
mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan
cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.

Permasalahan Hukum

Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya
permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi
penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga,
maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat,
orang kaya, dan sebagainya).

Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun
besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu
peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan
POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang
kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih
tinggi.

Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan
karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
Tumbangnya rezim Soeharto tahun 1998 ternyata tidak disertai dengan reformasi di bidang hukum. Ketimpangan dan
putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap terasakan dari hari ke hari.

Beberapa Kasus Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia

Kasus-kasus inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal. Penulis mengelompokkannya
berdasarkan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat awam, baik melalui pengalaman pencari keadilan itu
sendiri, maupun peristiwa lain yang bisa diikuti melalui media cetak dan elektronik.

1. Tingkat Kekayaan Seseorang

Salah satu keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara
Departemen Hutan dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan hukuman dua tahun
penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan
rasa ketidakadilan masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar rupiah, Bob Hasan
yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan
cepat. Demikian pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), kasus Texmaco,
dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah lainnya.

Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata, korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian
puluh juta rupiah, putusan kasus Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat bahwa
kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara. Kemampuannya menyewa pengacara tangguh
dengan tarif mahal yang dapat mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan tingkat
kekayaan tinggi.

Kita bisa membandingkan dengan kasus Tasiran yang memperjuangkan tanah garapannya sejak tahun 1985 . Tasiran,
seorang petani sederhana, yang terlibat konflik tanah seluas 1000 meter persegi warisan ayahnya, dijatuhi hukuman
kurungan tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan pada tanggal 2 April 1986, karena terbukti mencangkuli tanah
sengketa. Karena mengulang perbuatannya pada masa percobaan, Tasiran kembali masuk penjara pada bulan Agustus
1986. Sekeluarnya dari penjara, Tasiran berkelana mencari keadilan dengan mondar-mandir Bojonegoro-Jakarta lebih
dari 100 kali dengan mendatangi Mahkamah Agung, Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Mabes Polri, DPR/MPR, Bina Graha,
Istana Merdeka, dan sebagainya. Pada tahun 1996 ia kembali memperoleh keputusan yang mengalahkan dirinya.

2. Tingkat Jabatan Seseorang
Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh
sekitar 40 orang anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang berangkat
memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar
rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah. Dalam kasus ini, sembilan orang
staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan administratif, semenara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala
Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.

Dalam kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan elektronik menemukan
ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan
dilakukan agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan masyarakat terusik
tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk
mengusut kasus ini sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai komisaris PT
Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab. Sampai makalah ini dibuat, janji untuk menyidik pejabat-pejabat DKI ini
belum terlaksana.

3. Nepotisme

Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok, anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Jendral (TNI) Subagyo HS, diperingan
hukumannya oleh mahkamah militer dari empat tahun penjara menjadi dua tahun penjara . Disamping itu, terdakwa juga
dikembalikan ke kesatuannya selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer
tinggi. Putusan ini terasa tidak adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi di Indonesia yang
didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas
hukum militer yang diterapkan pada kasus narkoba.

Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto, yang dihukum 18 bulan penjara karena kasus manipulasi tukar gling
tanah Bulog di Kelapa Gading dan merugikan negara sebesar 96 milyar rupiah, sampai saat ini tidak berhasil ditangkap
dan dimasukkan ke LP Cipinang sesuai perintah pengadilan setelah permohonan grasinya ditolak oleh presiden.
Masyarakat melihat bagaimana pihak pengacara, kejaksaan, dan kepolisian saling berkomentar melalui media cetak dan
elektronik, namun sampai saat makalah ini dibuat Tommy Soeharto masih berkeliaran di udara bebas. Dua kasus ini
mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas pejabat.

4. Tekanan Internasional

Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September 2000, yang menewaskan tiga orang staf
UNHCR mendapatkan perhatian internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid
untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik kasus Atambua
ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia), sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat.
Tekanan internasional ini mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti persenjataan milisi
Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.

Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon, Aceh,
Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat.
Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman
dan normal. Meskipun ada perhatian internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang
terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat tekanan internasional menentukan
kecepatan aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.

0 comments: