Kabinet baru sudah terbentuk dan program kerja kabinet bidang ekonomi dan hankam tampaknya menjadi titik sentral pemberitaan berbagai media karena krisis ekonomi dan kasus terorisme adalah hal paling krusial yang harus dituntaskan pemerintahan baru.
Namun demikian, ada aspek lain yang sesungguhnya tak kalah penting tetapi sering kali luput dari perhatian, yakni masalah pengelolaan sumber daya alam. Betapa tidak, bangsa kita sangat akrab dengan berbagai prahara alam yang datang silih berganti, namun begitu bangsa kita juga begitu mudah melupakannya.
Mengapa berkali-kali kabinet di negara ini berganti, namun permasalahan lingkungan tidak juga teratasi? Karena kebijakan pengelolaan sumber daya alam selama ini cenderung parsial yang sarat dengan pertarungan dan perbenturan kepentingan sektoral pertanian, kehutanan, kelautan, pertambangan, dan permukiman prasarana wilayah (kimpraswil).
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup yang diharapkan bisa menjembatani kepentingan lintas sektoral terkesan serba canggung dalam merumuskan kebijakan akibat tarik-menarik pengaruh pendekatan intuitional-moral (sering) dan gagasan conceptual-rational.
Sinergi pendekatan rasional dan moral
Dominasi pendekatan rasional yang antroposentris dalam praktiknya cenderung top- down dan mengabaikan adanya rasionalitas lain seperti kearifan tradisional. Rasionalitas yang sentralistik juga berpotensi membunuh realitas keragaman. Berangkat dari pemikiran ini beberapa kalangan memandang perlu untuk mendekonstruksi pendekatan rasional dengan pendekatan moral dalam pengelolaan sumber daya alam.
Berangkat dari kenyataan tersebut perlu dibangun suatu kesadaran baru bahwa pendekatan rasional dan pendekatan moral bukanlah saling bersubstitusi, tetapi berkomplemen. Kedua pendekatan bisa (dan seharusnya) dilakukan secara paralel.
Rasionalitas memang bukan segala-galanya, tetapi pendekatan moral saja sering kali juga tidak efektif. Pendekatan apa pun yang dipakai, sumber daya alam akan terdegradasi hebat apabila dibiarkan menjadi open access property sebagaimana dikemukakan Garrett Hardin (1968) dalam thesanya monumental The Tragedy of The Commons.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa mengelola sumber daya alam dengan mengedepankan pendekatan moral saja tidak cukup karena setiap komunitas atau bahkan setiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda terhadap sumber daya alam.
Merumuskan pengelolaan hutan yang integralistik
Tak mudah memang merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang dapat memuaskan selera semua pihak karena sejak semula perdebatan menyangkut strategi pengelolaan sumber daya alam terbelah dalam dua sudut pandang, yakni antroposentrisme (yang condong kepada paham rasionalisme) dan ekosentrisme (yang akrab dengan gagasan moralisme).
Paham antroposentrisme biasanya menjadi acuan kubu "developmentalist, sedangkan paham ekosentrisme sangat lekat mewarnai gerakan deep green ekologi. Paham antroposentrisme cenderung menjadi pilihan intelektual-birokrat yang didukung oleh lembaga donor internasional.
Sementara itu, kalangan deep ecologist yang diwakili LSM lingkungan dan ecological scientists gencar menyuarakan ide ekosentrisme. Tolok ukur pembangunan berkelanjutan yang harus memenuhi tiga kriteria; economically feasible, socially acceptable dan ecologically sustainable tampaknya hanya menjadi jargon yang enak didengar namun dalam kenyataannya sulit diterapkan secara seimbang.
Kaum developmentalist cenderung melihat keberhasilan pembangunan dari indikator ekonomi konvensional, seperti pertumbuhan, sementara di lain pihak kalangan deep ecologist tidak bergeming dengan gerakan penyelamatan lingkungan, yang penuh idealisme tetapi sering kali kurang membumi.
Sekilas perbedaan pandangan di antara kedua kubu sudah given, harga mati yang sulit dikompromikan. Pendapat ini tak sepenuhnya benar karena sebetulnya ada wilayah abu-abu yang bisa menjadi dasar pijakan bersama antara kelompok developmentalist dan ecologist, yakni kepentingan sosial.
Kesamaan pijakan inilah yang seharusnya dijadikan modal dasar untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang integralistik. Dan ini menjadi tugas terberat bagi pemerintahan baru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru dilanti
Senin, 23 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar